Di Indonesia, reggae hampir selalu diidentikkan dengan rasta. Padahal,
reggae dan rasta sesungguhnya adalah dua hal yang berbeda. “Reggae
adalah nama genre musik, sedangkan rasta atau singkatan dari rastafari
adalah sebuah pilihan jalan hidup, way of life,” ujar Ras Muhamad,
pemusik reggae yang 12 tahun menekuni dunia reggae di New York dan
penganut ajaran filosofi rasta. Repotnya, di balik hinggar-bingar dan
kegembiraan yang dibawa reggae, ada stigma yang melekat pada para
penggemar musik tersebut. Dan stigma tersebut turut melekat pada
filosofi rasta itu sendiri.
“Di sini, penggemar musik reggae, atau sering salah kaprah disebut
rastafarian, diidentikkan dengan penghisap ganja dan bergaya hidup
semaunya, tanpa tujuan,” ungkap Ras yang bernama asli Muhamad Egar ini.
Padahal, filosofi rasta sesungguhnya justru mengajarkan seseorang hidup
bersih, tertib, dan memiliki prinsip serta tujuan hidup yang jelas.
Penganut rasta yang sesungguhnya menolak minum alkohol, makan daging,
dan bahkan mengisap rokok. “Para anggota The Wailers (band asli Bob
Marley) tidak ada yang merokok. Merokok menyalahi ajaran rastafari,”
papar Ras.
Ras mengungkapkan, tidak semua penggemar reggae adalah penganut rasta,
dan sebaliknya, tidak semua penganut rasta harus menyenangi lagu reggae.
Reggae diidentikkan dengan rasta karena Bob Marley— pembawa genre musik
tersebut ke dunia adalah seorang penganut rasta. Ras menambahkan, salah
satu bukti bahwa komunitas reggae di Indonesia sebagian besar belum
memahami ajaran rastafari adalah tidak adanya pemahaman terhadap hal-hal
mendasar dari filosofi itu. “Misalnya waktu saya tanya mereka tentang
Marcus Garvey dan Haile Selassie, mereka tidak tahu. Padahal itu adalah
dua tokoh utama dalam ajaran rastafari,” ungkap pemuda yang menggelung
rambut panjangnya dalam sorban ini.
Pemusik Tony Q Rastafara pun mengakui, meski ia menggunakan embel-embel
nama Rastafara, tetapi dia bukan seorang penganut rasta. Tony mencoba
memahami ajaran rastafari yang menurut dia bisa diperas menjadi satu
hakikat filosofi, yakni cinta damai. “Yang saya ikuti cuma cinta damai
itu,” tutur Tony yang tidak mau menyentuh ganja itu.
Namun, meski tidak memahami dan menjalankan seluruh filosofi rastafari,
para penggemar dan pelaku reggae di Indonesia mengaku mendapatkan
sesuatu di balik musik yang mereka cintai itu. Biasanya, dimulai dari
menyenangi musik reggae (dan lirik lagu-lagunya), para penggemar itu
kemudian mulai tertarik mempelajari filosofi dan ajaran yang ada di
baliknya.
Seperti diakui Hendry Moses Billy, gitaris grup Papa Rasta asal Yogya,
yang mengaku musik reggae semakin menguatkan kebenciannya terhadap
ketidakadilan dan penyalahgunaan wewenang. Setiap ditilang polisi, ia
lebih memilih berdebat daripada “berdamai”. “Masalahnya bukan pada uang,
tetapi praktik seperti itu tidak adil,” tandas Moses yang mengaku
sering dibuntuti orang tak dikenal saat beli rokok tengah malam karena
dikira mau beli ganja.
Sementara Steven mengaku dirinya menjadi lebih bijak dalam memandang
hidup sejak menggeluti musik reggae. Musik reggae, terutama yang
dipopulerkan Bob Marley, menurut Steven, mengajarkan perdamaian,
keadilan, dan antikekerasan. “Jadi kami memberontak terhadap
ketidakadilan, tetapi tidak antikemapanan. Kalau reggae tumbuh, maka di
Indonesia tidak akan ada perang. Indonesia akan tersenyum dengan
reggae,” ujar Steven mantap.
Sila dan Joni dari Bali menegaskan, seorang rasta sejati tidak harus
identik dengan penampilan ala Bob Marley. “Rasta sejati itu ada di dalam
hati,” tandas Sila sambil mengepalkan tangan kanan untuk menepuk
dadanya.
Sumber: Kompas
jangan lupa kembali di Ruang Reggae
0 komentar:
Posting Komentar